Wahai Rasulullah, kegelisahanku kali
ini adalah soal yang agak rumit, menurutku. Tetapi tentu tidak menurutmu. Ini
soal akhirat. Akhirat, titik keabadian yang sedang kutempuh melalui kehidupan ini.
Akan sampaikah aku ke tempatmu bersemayam kini, junjunganku? Di manakah
tempatku kelak di akhirat itu? Aku ingin tahu. Aku takut tak mereguk wangi
surga dan tak bisa duduk di dekatmu, Muhammadku. Aku takut terlempar ke dasar
neraka terdalam karena dosa-dosa dan kesalahanku.
Ah, tetapi di luar semua itu,
Rasulullah, sebenarnya kini aku sungguh-sungguh hanya ingin beribadah,
bertaubat, dan membekali diriku dengan takwa hanya atas dasar kecintaanku
kepada Allah dan kepadamu saja. Bukan atas dasar ketakutanku pada neraka atau
hasratku yang menggebu untuk mendapatkan surga. Aku ingin seperti Sayyidina Ali
bin Abi Thalib yang berkata, “Tuhanku,
aku beribadah kepada-Mu, bukan karena takut akan neraka-Mu, bukan pula karena
rakus akan surga-Mu. Aku beribadah kepada-Mu karena aku tahu, hanya engkau yang
berhak disembah.”
Aku juga ingin begitu, Rasulullah.
Aku ingin beribadah kepada Allah atas dasar kesadaran dan keikhlasanku untuk
melakukannya saja. Bukan karena takut nerakaNya atau rakus akan surgaNya.
Seperti aku ingin mencintai Allah dan mencintaimu, karena aku tahu hanya kepada
Allah dan Rasulullahlah cintaku harus kularungkan selama-lamanya sepanjang
waktuku.
Allâhumma yâ
Dâ’imal-fadhli ‘alal-bariyyah, wa yâ Bâsithal-yadhayni bil-‘âthiyah, wa yâ
Shâhibal-mawâhibis-saniyyah, shalli ‘alâ Muhammadin khayril-warâ bitahiyah,
waghfillanâ yâ Dzal-‘ulâ.
Ya Allah, Tuhan yang
selalu memberikan karunia kepada manusia; Tuhan yang selalu membukakan
tangan-Nya lebar-lebar dengan pemberian, Tuhan yang mempunyai pemberian-pemberian
yang mulia, limpahkanlah shalawat atas Muhammad, sebaik-baiknya manusia,
dengan penghormatan; ampunilah pula kami, duhai Tuhan Yang Maha Tinggi.
Komentar
Posting Komentar