Filsafat Teknologi dan Pemanfaatan Media Komunikasi
Sejak manusia dapat berpikir dan adanya keinginan untuk lebih mengenal lingkungannya agar dapat mengatasi segala tantangan dan ancaman yang dihadapi -- maka manusia membuat dan mengembangkan peralatan dan prasarana hidup yang ia butuhkan. Mulai saat itu, keterampilan yang dimiliki untuk membuat prasarana dan peralatan terus disempurnakan. Keterampilan tidak dapat dipisahkan dari perencanaan, perekayasaan dan pembuatan apa saja yang diperlukan manusia dengan memanfaatkan ‘teknologi’, yaitu ”cara dan teknik untuk dapat memiliki apa yang dinginkan dengan pengorbanan minimal“.
Perlu dijelaskan perbedaan antara ’teknologi’ dan ‘teknik’, dengan ilustrasi berikut: Teknologi dibutuhkan untuk membuat senjata, sedangkan untuk memanfaatkan senjata tersebut dibutuhkan teknik tertentu. Jikalau beberapa orang memakai senjata yang sama hasilnya akan berbeda. Perbedaan tersebut sangat tergantung pada teknik masing-masing dalam memanfaatkan senjata. Demikian pula halnya dengan membuat (teknologi) dan memanfaatkan (teknik) alat musik, menyusun (teknologi) dan membacakan (teknik) suatu makalah dan sebagainya.
Seperti halnya filsafat, teknologi adalah murni hasil pemikiran manusia dan karena itu hubungan antara filsafat dan teknologi sangat erat. Jikalau filsafat menkaji, meneliti dan menganalisis manusia dalam berbagai aspeknya, maka teknologi berperan sangat menentukan terhadap nasib manusia. Teknologi tidak hanya dapat menjawab permasalahan yang dialami manusia pada waktu dan tempat tertentu saja, namun dapat juga menjawab pertanyaan-pertanyaan metafisik manusia itu sendiri. (Heidegger, 1962) (Martin Heidegger: Die Technik und die Kehre, Pfullingen, ISBN 978‐3‐608‐91050‐6, 1962)
Kemampuan manusia untuk mengembangkan teknologi didorong oleh kelemahan fisiknya yang harus berhadapan dengan ancaman dan tantangan lingkungan. Oleh karenanya, dengan memanfaatkan panca indera dan otaknya, manusia ‘dipaksa’ untuk memiliki teknologi yang ia perlukan guna mempertahankankelangsungan hidupnya (Gehlen, 1940). (A. Gehlen: Der Mensch, Seine Natur und seiner Stellung in der Welt, Berlin, 1940)
Hanya dengan teknologi yang tepat dan berguna, kualitas karya manusia dapat ditingkatkan. Nilai karya manusia ditentukan oleh pasar, di mana karya-karya tersebut bersaing. Sumberdaya alam (SDA) terbarukan atau tidak terbarukan -- akan diberi nilainya masing-masing di pasar. Tanpa teknologi nilai tersebut tidak dapat ditingkatkan. Hal ini juga berlaku untuk suatu sistem karya yang merupakan hasil murni pemikiran dan rekayasa sumberdaya manusia (SDM). Penambahan nilai atau nilai-tambah tersebut hanya dapat tercapai dengan memanfaatan teknik dan teknologi yang tepat.
Tidak ada suatu teknologi yang dapat dikembangkan tanpa penguasaan ilmu alam dan ilmu hasil eksperimen, dalam rangka mengecek keunggulan teori, menganalisis suatu sistem atau membuat/mengembangkan alat dibutuhkan. Oleh karena itu teknologi adalah produk murni hasil pemikiran manusia dan bukan sumberdaya alam.
Jikalau teknologi dapat bersinergi dengan budaya, perilaku dan bakat seseorang, maka yang bersangkutan akan menjadi sangat terampil atau sangat ’produktif’. Keunggulan daya saing sesorang hanya ditentukan oleh dua elemen saja, yaitu ‘teknologi‘ dan ‘produktivitas‘.
Di pasar, karya hasil pemikiran yang diimbangi oleh keinginan dan kebutuhan manusia tersebut menjadi pendorong utama berkembangnya teknologi dan produktivitas. Temuan produk baru, proses nilai-tambah akan terus berkembang dan demikian pula kualitas SDM. Teknologi, produktivitas, nilai-tambah, keunggulan dan daya saing harus bersinergi untuk menjawab tuntutan pasar, sehingga dapat menghasilkan produk apa pun yang berkualitas tinggi dengan harga yang tepat.
Teknologi adalah rangkuman beberapa disiplin Ilmu terapan, sedangkan ilmu terapan adalah berunsur pada Ilmu dasar terkait. Ilmu dasar dan ilmu terapan akan terus berkembang sesuai kebutuhan manusia sepanjang masa. Tahap demi tahap teknologi tepat-guna dan energi telah merubah SDA menjadi produk baru. Untuk perubahan ini manusia telah diilhami, dirangsang dan belajar dari alam sekitarnya. Ilmu pengetahuan dasar, dan demikian pula ilmu pengetahuan terapan, diilhami oleh ‘mekanisme alam‘ melalui suatu evolusi telah berkembang. (Nachtigall, 2005 dan Nachtigall, 2003). (Werner Nachtigall: Biologisches Design ISBN 3‐540‐22789‐X Springer, 2005; Werner Nachtigall: Bau‐Bionik, ISBN 3‐540‐44336‐3 Springer, 2003)
Dewasa ini tidak ada satu kebijaksanaan pun yang dapat menyelesaikan masalah, tanpa memperhatikan filsafat dan teknologi. Apakah masalah ekonomi ataupun politik, sama saja. Nasib manusia pada waktu ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan manusia mengembangkan, menerapkan, mengendalikan dan menguasai teknologi.
MEMAHAMI FILSAFAT TEKNOLOGI
Tak banyak orang yang mengenal filsafat teknologi. Karena filsafat umumnya kita kenal sebagai maha ilmu yang membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan eksistensi manusia, Tuhan ataupun Wujud (realitas). Untuk itu menghubungkan filsafat dan teknologi akan terkesan tak biasa. Padahal filsafat teknologi adalah salah satu genre dalam ranah filsafat yang dapat dikatakan banyak menarik perhatian para filsuf. Heidegger, Habermas, Jacques Ellul, Don Ihde dan Andrew Feenberg adalah beberapa contoh filsuf yang memberikan perhatian pada hakikat teknologi dalam dunia-kehidupan.
Pertanyaan tentang hakikat teknologi sebenarnya sudah muncul sejak zaman Yunani kuno (Aristoteles). Saat itu dikenal terma filsafat: techne dan poiesis. Heidegger mengungkap hal ini dalam bukunya The Question Concerning Technology (1977). Techne dapat dijelaskan sebagai pengetahuan tentang cara memproduksi atau mentransfomasikan, sedangkan poiesis adalah sebuah penyingkapan, yang dengannya sesuatu yang baru hadir di muka bumi. Pada masa modern filsafat teknologi tidak hanya membahas techne, poiesis dan kaitannya dengan dunia-kehidupan saja, tapi juga artifak atau teknofak yang tak dapat dipungkiri mempengaruhi kehidupan dan juga kesadaran.
Heidegger adalah salah satu filsuf yang membuka diskursus filsafat teknologi. Karakter dan hakikat teknik (teknologi) bahkan sudah dibicarakan oleh Heidegger dalam buku besarnya Being and Time(1927), yang kemudian dtuntaskan dalam bukunya The Question Concerning Technology(1977). Menurut Heidegger hakikat teknologi adalah bukan sesuatu yang bersifat teknologis, melainkan enframing; membuat, mencipta atau mentransformasikan (yang kemudian mengungkapkan sesuatu yang baru). Yang teknologis kemudian dimengerti bukan semata-mata yang teknis tetapi juga yang reflektif filosofis.
Refleksi filosofis tentang teknologi telah mencipta tanggapan yang berbeda-beda tentang hakikat teknologi. Di Amerika misalnya dikenal sebuah gerakan atau perkumpulan anti-teknologi. Gerakan ini bernama Neo-Luddite. Nama ini berasal dari Luddisme, yaitu sebuah gerakan anti industrialisasi di Inggris pada awal abad 19. Gerakan ini sering dikisahkan sebagai gerakan merusak mesin yang dilakukan oleh para buruh karena mengancam lahan kerjanya, salah satunya diperkirakan orang yang bernama Ned Ludd. Demikianlah Luddisme dikenal. Sekarang kita mengenal neo-luddite sebagai gerakan anti teknologi. Gerakan yang mempunyai manifesto bahwa: biosphere itu lebih utama dari technosphere. Mesin misalnya menurut Neo-Luddite merupakan dekadensi dalam peradaban. Ia telah mengambil alih kerja (keterampilan tangan/seni) manusia—memproduksi secara massal. Gerakan ini bahkan menolak produksi/percetakan buku atau kertas—padahal dikenal sebagai gerakan kaum intelektual. Alasannya, produksi buku (kertas) secara masal telah menghabiskan hutan-hutan di Eropa. Selain itu menurut mereka budaya baca buku telah menghilangkan tradisi bercerita atau mendongeng.
Filsafat teknologi tentu tidak terbatas pada bagaimana relasi manusia dengan artifak (dan teknofak) itu dapat dijelaskan. Jacques Ellul, seorang pemikir dari Perancis dalam bukunya The Technological Society (1964) melihat teknologi (lebih spesifik dunia teknik) sebagai entitas yang otonom, manusia tidak bisa mengontrol dan mengatasi kemajuan teknik. Hanya teknologi yang dapat mengontrol dan mengatasi dirinya sendiri.
Dengan kata lain, implikasi etis, sosiologis dan ekologis dari kemajuan teknik hanya dapat diatasi oleh teknik itu sendiri. Untuk mengatasi persoalan limbah industri misalnya diperlukan teknologi baru untuk mengolah atau mengatasi permasalahan limbah. Sehingga teknik terus menerus maju untuk mengatasi kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya. Ia bergerak dengan sendirinya layaknya sebuah organisme–bagian dari laju evolusi kehidupan. Karena itu ia tidak dapat dikontrol, seperti monsternya Frankenstein.
Bahkan Teknologi di sini diandaikan seperti roh absolut Hegel yang bergerak secara masif mengontrol dan menguasai dunia-kehidupan. Tidak ada kekuatan selain dunia teknik itu sendiri. Karena teknik adalah syarat bagi kehidupan. Dengan kata lain orang yang tidak menggunakan atau anti teknologi (teknik) akan dengan sendirinya tersingkir dan tereliminasi dari dunia-kehidupan.
Gagasan Ellul tentu saja terkesan ambisius. Mengapa kita tidak bisa mengontrolnya? Bukankah semua itu kreasi manusia? Banyak pemikir melihat bahwa determinisme teknik adalah konsekuensi dari ideologi modernisme, yang di dalamnya terdapat gagasan ideologis tentang kemajuan dan perubahan. Sehingga gagasan deterministik mengandaikan sebuah kondisi sejarah yang tak terelakkan, kita hidup dalam sebuah keniscayaan sejarah yang menempatkan dunia teknik sebagai syarat-syaratnya.
Don Ihde, ahli fenomenologi dari Amerika menanggapi dengan berbeda soal determinisme ini, bahkan dalam beberapa hal menolaknya. Ia mengupas terlebih dahulu relasi teknologi dan kebudayaan manusia. Argumen diawali dengan penjelasan tentang relasi hermeneutis dalam konteks kultural, yaitu sebuah interpretasi yang terjadi ketika suatu budaya menangkap atau menerima artifak teknologi kebudayaan lain. Don Ihde melihat bahwa ada kegiatan hermeneutis ketika teknologi sebagai instrumen kultural dimaknai dan diinterpretasikan secara berbeda; Yaitu ketika terjadi transfer teknologi (Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth, 1990: 125).
Nilai praktis teknologi dalam proses transfer teknologi dapat diinterpretasikan secara berbeda bahkan tidak dimengerti. Namun bila nilai praktis dapat dimengerti, proses transfer teknologi menjadi mudah. Dapat dikatakan tidak ada kegiatan hermeneutis. Orang Papua Nugini misalnya dapat mengkonversikan pisau/kapak dari batu menjadi pisau/kapak dari besi karena nilai praktis yang dapat dimengerti atau sama. Berbeda ketika mereka pertama kali melihat senapan. Mereka tidak mengerti nilai praktis senapan. Perlu adanya kegiatan hermeneutis sebelum senapan menjadi penting dan berguna. Jadi sama seperti kita pertama kali melihat komputer atau teknologi lainnya. Orang yang tidak mengerti nilai praktis teknologi tentunya akan bertanya-tanya ketika melihat benda teknologi tersebut.
Nilai praktis memberikan persepsi yang berbeda dalam melihat teknologi. Setiap budaya misalnya mempunyai teknologi yang sama, namun mempunyai nilai praktis yang berbeda. Di Cina pada awalnya bubuk mesiu digunakan untuk petasan, perayaan-perayaan, berbeda dengan di Barat yang menggunakan bubuk mesiu untuk senjata, peperangan. Begitu juga tenaga angin (kincir angin), ia juga sama-sama dipakai di Barat dan juga di Timur (Iran). Namun nilai praktisnya berbeda, di Barat tenaga angin membawa banyak kegunaan, sedangkan di Iran hanya untuk tenaga irigasi. Jadi setiap budaya mempunyai ekspresi berbeda tentang teknologi yang digunakannya. Masing-masing mempunyai nilai praktisnya sendiri.
Berdasarkan interpretasi antropologis, Don Ihde kemudian menyimpulkan bahwa teknologi itu inheren dengan kebudayaan. Bila kita melihat contoh di atas benarlah bahwa setiap artifak kebudayaan itu mengandung nilai teknologisnya sendiri. Setiap budaya menggunakan instrumen teknologi (artifak) sesuai dengan tradisi yang diturunkan, dan ia bersifat unik. Karena itu teknologi inheren dengan budaya itu sendiri. Maka pertanyaan pun beralih, apakah budaya itu dapat dikontrol atau tidak? Atau apakah budaya itu bersifat determinisitik?
Tentu tidak semudah itu mengatakan bahwa apakah budaya itu dapat dikontrol atau tak dapat dikontrol (deterministik). Kata kontrol dalam konteks ini bermasalah. Karena dalam nalar Don Ihde relasi manusia-teknologi (budaya) sudah mengandaikan adanya kegiatan “mengontrol” dan “dikontrol” (Technology and the Lifeworld, 1990: 140). Untuk itu budaya-teknologi tidak dapat dipertanyakan apakah ia dapat dikontrol atau tidak. Teknologi bukanlah monster yang berdiri bebas dan otonom. Karena ia digunakan dan bersifat intensional, artinya manusia mempunyai kebebasan untuk mengontrol dan dikontrol. Dalam konteks inilah Don Ihde menolak asumsi metafisika deterministik dari teknologi.
Ketika setiap budaya mempunyai ekspresi yang berbeda tentang teknologi, maka teknologi dipahami bersifat non-netral. Bahkan Ihde melihat bahwa teknologi itu bersifat ambigu. Ketika teknologi dimaknai sebagai kode-kode budaya maka ia pun dapat dimaknai secara berbeda. Karenanya teknologi sebagai bagian inheren dari budaya bersifat kontekstual dan mempunyai ciri multistabil (Technology and the Lifeworld, 1990: 144). Multistabilitas ini dapat dipahami sebagai pandangan khas/unik setiap budaya dalam memahami dan menjelaskan dunianya. Jadi relasi teknik dan relasi hermeneutis setiap budaya dalam menjelaskan dan memahami dunia itu berbeda-beda
Karena pengalaman kebudayaan berbeda-beda maka persepsi tentang teknologi pun berbeda. Mulstabilitas yang terjadi pada relasi manusia-teknologi ini dapat dicontohkan dalam sistem navigasional. Orang Barat mempunyai sistem yang baik untuk navigasi kapal, tapi tetap tidak bisa mentransfer teknologi navigasionalnya ke suku-suku di Pasifik Selatan. Artinya suku di Pasifik Selatan itu tetap tidak mengerti teknologi navigasional orang Barat yang bersifat hermeneutis/representasional (penggunaan kompas misalnya). Mereka tetap mempunyai teknologinya sendiri, seperti membaca arah lewat pola-pola ombak atau pola bintang-bintang (relasi kemenubuhan).
Gagasan determinisme teknologi tak dapat dimungkiri juga terkait dengan fenomena kesadaran dan relasinya dengan artifak-artifak teknik. Habermas misalnya melihat bahwa kemajuan teknik (teknologi) akhirnya menentukan kesadaran masyarakat modern. Self-understanding masyarakat modern tentang dunianya menurut Habermas dimediasikan oleh apropriasi hermeneutis terhadap budaya teknologi yang bergerak secara teleologis. Ini memberikan sebuah asumsi bahwa jaring-jaring logika teknik kemudian menjadi determinan utama kesadaran. Aksi-intensi kemudian ditentukan oleh logika dan hukum yang berlaku dalam dunia teknologi.
Akibatnya menurut Habermas pengejawantahan rasio melulu bersifat teknis, artinya dimensi praksis rasio adalah kegiatan produktif yang hanya mengungkapkan nilai-nilai efesien dan fungsional. Dimensi praksis rasio kemudian semata-mata dimengerti sebagai aplikasi teknis yang merupakan penerapan sains dan rasionalitas. Hal inilah yang kemudian menggejala dalam bentuk kontrol teknis terhadap alam. Sehingga tujuan utama pencerahan (emansipasi sosial ) terlupakan. Ilmu pengetahuan kemudian semata-mata dimengerti sebagai moda atau cara bagaimana mengontrol dan memanipulasi alam. Inilah yang membuat masyarakat modern tenggelam dan terarahkan oleh dimensi teknis dari pengetahuan. Padahal tujuan utama pencerahan adalah emansipasi sosial yang terkait dengan kesadaran bahwa lewat pengetahuan kita dapat melepaskan diri dari segala dogmatisme dan kepicikan.
Berbicara tentang teknologi dalam konteks filsafat tentu tak lepas dari persoalan bagaimana kita secara ontologis memahami dunia lewat instrumen teknik. Dalam nalar Heideggerian hal ini menyangkut bagaimana interaksi kita terhadap dunia dapat dijelaskan dan diatasi melalui instrumen.
Seperti kita ketahui pada zaman kuno dunia dijelaskan lewat mitos, manusia mengkonstruksikan sebuah sistem untuk menjelaskan dunianya lewat pengandaian-pengandaian mitologis. Sekarang manusia menggunakan atau menciptakan instrumen untuk menjelaskan dan memahami dunia. Instrumen teknologi secara perseptual kemudian merepresentasikan realitas. Kita menggunakan teropong (teleskop) untuk melihat benda-benda di kejauhan, termometer untuk mengukur suhu, atau mikroskop untuk melihat partikel-partikel yang tak dapat dilihat secara telanjang oleh mata. Dunia dihadirkan lewat instrumen teknologi.
Don Ihde membuat isitilah hermeneutika teknik untuk menjelaskan fenomena tersebut di atas. Menurutnya, teknologi itu sendiri adalah sebuah teks. Kita secara interpretif memahami dunia lewat artifak teknologi sebagai sebuah teks (Technology and the Lifeworld, 1990: 81). Lebih jauh Hermenutika teknik adalah moda tentang bagaimana manusia menginterpretasikan, membaca, dan memahami dunianya lewat artifak teknologi. Misalnya pilot tidak melihat secara langsung dunia, melainkan membaca lewat panel kontrol. Manusia dalam hal ini menggambarkan dunia lewat sebuah teks atau instrumen teknologi.
Dalam hermenutika teknik juga dikenal relasi kemenubuhan. Ini berarti instrumen teknologi dipahami sebagai kepanjangan atau ekstensi dari fungsi tubuh. Artinya secara transparan dunia ditampilkan oleh instrumen. Tidak ada jarak antara manusia dengan teknologi dalam relasi kemenubuhan. Hal ini dapat diilustrasikan demikian: (I-Technology)-World. Aku dan teknologi menjadi satu berhadapan dengan dunia. Jadi seperti seorang buta dengan tongkatnya. Teknologi adalah tongkat yang digunakan untuk membaca dan mengatasi dunia. (Aku-Tongkat)-Dunia. Relasi kemenubuhan dalam konteks teknologi adalah relasi yang telah ada sejak manusia primitif. Sejak manusia mulai membuat instrumen dari batu. Membuat instrumen untuk memperluas kemampuan atau fungsi organ-organ tubuhnya. Instrumen teknik adalah mimesis dari fungsi tubuh manusia.
Sekarang artifak teknologi telah meluas tidak hanya sebatas nilai efesiensi dan fungsionalitas. Teknologi baru yang berhubungan dengan dunia-kehidupan manusia sekarang terkait dengan nilai-nilai yang mengundung unsur permainan. Bahkan di negara kurang maju ia menjadi semacam perhiasan saja atau fashion. Misalnya ada suku-suku di Afrika yang tidak dapat menerima dan mengerti budaya jam, mereka kemudian menganggap jam tangan sebagai gelang perhiasan. Fungsionalitas jam tangan dalam hal ini tak dapat dimengerti.
Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, dunia teknologi kemudian semakin sulit dimengerti. Artinya cara kerja/sistem (teknis) artifak teknologi itu dalam beberapa hal hanya dipahami oleh para ilmuwan atau teknisi saja. Sekarang artifak teknologi tidak lagi sebatas instrumen untuk membaca dan memahami dunia. Ia telah meluas dan membentuk dunianya sendiri. Yang teknis tidak lagi terkait dengan pengalaman konkret, seperti analogi tongkat di atas. Teknologi tidak hanya memberikan makna intrumental dan fungsional saja. Ia juga secara ontologis membentuk dunianya sendiri.
Dapat dikatakan dunia teknologi pada masa modern terbagi menjadi dua: dunia makna dan dunia teknis yang tersembunyi. Seperti yang ungkapkan oleh Dr. Karlina Supelli (dalam seminar terbatas “Technology and the Lifeworld“) bahwa ada pemilahan analitis dalam dunia-teknologi, yaitu ranah makna dan ranah teknis.
ranah teknis dapat dinterpretasikan sebagai dunia yang hanya dipahami dengan baik oleh oleh para teknisi. Misalnya kebanyakan orang tidak mengerti mengapa AC bisa membuat udara menjadi dingin atau mengapa besi bisa terbang di udara. Ini berbeda dengan dunia makna yang menjelaskan artifak teknologi sebatas fungsionalitasnya saja. Dengan kata lain instrumen tersebut sudah siap pakai. Kita tinggal menggunakannya saja, dalam beberapa hal kita tidak mempedulikan teknik atau cara kerjanya. Radio atau televisi dapat langsung kita nikmati, kita terkadang tidak menyadari bahwa di dalamnya ada dunia teknik yang bekerja. Dunia teknis kemudian menjadi dunia yang selalu terbungkus. Dunia yang makin lama makin sulit dimengerti, semakin asing.
SEJARAH & FILSAFAT TEKNOLOGI
Kita mengenal teknologi dalam pengertiannya yang modern sebagai aplikasi atau penerapan sains. Namun sains dalam pengertiannya yang modern berakar pada revolusi Copernicus pada abad ke 16 masehi yang berujung pada penemuan mekanika Newton yang memandang alam sebagai sebuah mesin raksasa. Pandangan mekanistik Newtonian tentang alam itu sendiri merupakan penggantian pandangan organismik Aristotelean yang mendominasi pemikiran manusia selama lebih dari seribu tahunan. Pandangan organismik Aristoteleian itu sendiri adalah pandangan filosofis yang menggantikan pandangan mitologis yang melihat alam bukan sebagai organisme, tetapi sebagai sebuah kerajaan dengan para dewa sebagai pemerintahnya.
Penggantian-penggantian sudut pandang itu sendiri sebenarnya dipicu oleh penemuan-penemuan teknologi yang kemudian mendominasi era peradaban pasca penemuan teknologis tersebut. Pandangan organismik Aristoteleian itu dipicu oleh lahirnya pemikiran logis yang dimungkinkan oleh ditemukannya huruf alfabetik sebagai teknologi komunikasi informasi yang revolusioner. Begitu juga penggantian pandangan organismik Aristoteleian dengan pandangan mekanistik Newtonian dipicu oleh penemuan revolusioner berikutnya dibidang komunikasi informasi: revolusi Gutenberg. Revolusi Gutenberg bermula dengan ditemukannya mesin cetak tipografis manual oleh Gutenberg. Revolusi teknologi inilah yang memicu lahirnya sains modern.
Tampak dari uraian di atas bahwa lahirnya teknologi pada dasarnya jauh mendahului kelahiran sains modern. Namun, dengan kelahiran sains modern terjadilah sebuah hubungan timbal balik positif antara sains, teknologi dan ekonomi yang memungkinkan revolusi-revolusi sains dan teknologi berikutnya. Sains mekanistik deterministik Newtonian memang melahirkan revolusi industri atau revolusi Watt, namun revolusi Faraday yang melihat dunia sebagai lautan ether elektromagnetik melahirkan revolusi industri kedua setelah ditemukannya generator dan motor listrik. Begitu pula revolusi sains kedua yang dipicu oleh lahirnya teori kuantum dan relativitas, mendorong revolusi industri ketiga dengan ditemukannya mikroprosesor yang merupakan jantung bagi komputer. Itulah sebabnya revolusi industri ketiga ini lebih dikenal sebagai revolusi informasi.
Kini, kita dalam era peradaban informatik, dan Indonesia masih belum mampu menjadi negara industri yang tangguh. Hal ini disebabkan oleh karena tidak terdapatnya lingkaran positif yang baik antara lembaga pengembangan sains dan lembaga pengembangan teknologi dan lembaga pengembangan ekonomi. Padahal keterjalinan ketiga lembaga itulah yang merupakan akselerator bagi perkembangan ekonomi di negara-negara maju. Ketiadaan jalinan ini tercermin pada kenyataan bahwa di Indonesia sains dan teknologi di pandang sebagai barang asing bagi kebudayaan. Padahal hanya dengan melihat sains dan teknologi sebagai cabang budaya dan peradabanlah, maka keterkaitan antara sains, teknologi dan ekonomi itu dapat dijalin dengan erat sehingga akselerasi perkembangan ekonomi dapat menjadi kenyataan.
Berikut ini diajukan sebuah pandangan filosofis tentang teknologi yang berdasarkan pengamatan tentang sejarah teknologi ditinjau sebagai sebuah koevolusi: evolusi teknologi yang berjalan beriringan dengan evolusi peradaban. Dalam pandangan ini peradaban dunia bergerak maju dengan adanya revolusi-revolusi teknologi yang telah terjadi selama ini. Sebagai perspektif diambil sudut pandang yang melihat koevolusi peradaban teknologi tersebut sebagai kelanjutan dari evolusi biologis sementara evolusi biologis dilihat sebagai pengembangan teknologi natural prahumanistik. Dengan pandangan filosofis historis seperti ini, diharapkan kita dapat mengembalikan teknologi ke dalam pangkuan budaya seperti sebagaimana mestinya. Di lihat dari sudut luar, maka proses pengembalian ini merupakan proses pembudayaan teknologi. Hanya dengan pembudayaan teknologi ini lah mesin akselerator pengembangan ekonomi dapat dijalankan dengan sempurna.
Posisi Teknologi dalam Peradaban
Membudayakan teknologi, berarti melihat teknologi sebagai bagian dari budaya manusia. Budaya manusia itu sendiri dapat dipandang sebagai kesatuan organik yang integral yang meliputi empat strata eksistensial yaitu stratum material, stratum energetik, stratum informatik dan stratum normatif. Keempat strata ini berkaitan dengan kategori-kategori materi, energi, informasi dan nilai-nilai. Eksistensi keempat kategori itu menjadi lebih mudah disadari dengan melihat komputer sebagai sistem integral. Jantung komputer itu adalah mikroprosesor yang dirangkai dengan elemen-element lain membentuk sebuah sistem materi. Komputer itu sendiri tak mungkin berfungsi tanpa pasokan energi dari luar. Dia pun tidak berfungsi tanpa adanya program sistem operasi dan program-program aplikasi yang merupakan sistem informasi. Sementara itu program-program itu tak akan berfungsi tanpa penentuan tujuan dari luar yaitu manusia dengan sistem nilai-nilai.
Dilihat dengan perspektif integralis tersebut maka dapatlah kita melihat budaya sebagai sebuah komputer yang merupakan perpanjangan otak manusia beserta organ-organ biologis lainnya. Dalam pandangan ini kebudayaan, dan peradaban sebagai perluasannya, dapat ditinjau sebagai teknologi humanistik yang merupakan perpanjangan bagi teknologi naturalistik organisme manusia sebagai diri pribadi. Manusia sebagai pribadi juga merupakan kesatuan integral yang menyangkut tubuh material dengan segala organnya, prilaku energetik yang menggerakkan organ-organ itu, kesadaran informatik yang mengarahkan perilaku tersebut dan keyakinan normatif yang menyatukan kesadaran itu dalam suatu kesatuan subyektif yang personal.
Tata nilai sebuah peradaban adalah perpanjangan dari keyakinan individual. Khazanah pengetahuan termasuk sains dan filsafat dalam suatu peradaban adalah perpanjangan dari kesadaran manusia. Sementara itu tata lembaga, seperti misalnya sistem politik, sosial dan ekonomi, adalah kepanjangan dari prilaku manusia individual. Akhirnya semua habitat dan peralatan material manusia dapatlah dipandang sebagai tubuh peradaban yang merupakan perpanjangan dari tubuh manusia secara individual. Dengan demikian peradaban sebagai sebuah sistem integral memiliki keempat strata eksistensial integralis. Begitu pula teknologi dalam pengertian sebuah tekno-sistem memiliki stratifikasi yang sama seperti yang terlihat dalam tabel 1.
Dalam tabel ini tampak terdapat pelapisan atau stratifikasi peradaban pada kuadran-kuadran kiri yang individual dan kuadran-kuadran kanan yang kolektif. Stratifikasi itu sesuai dengan kategori-kategori eksistensial integralis yaitu materi (raga dan tatasarana), energi (perilaku dan tatalembaga), informasi (kesadaran dan pengetahuan) dan nilai-nilai (keyakinan dan tatanilai).
Lingkungan hidup material manusia meliputi lingkungan alamiah atau formasi biotik dan lingkungan buatan atau formasi teknik. Sedangkan Lingkungan hidup sosial berupa formasi sosial dan lingkungan hidup kultural berupa formasi mental. Dari keempat formasi itu, yang paling cepat berubahnya adalah formasi teknik. Formasi sosial berubah mengikuti perubahan formasi teknik dan diikuti perubahan formasi mental yang mendukungnya.
Perubahan-perubahan formasi sosial dan mental itu telah membuka cakrawala-cakrawala baru di luar diri manusia dan mengaktualisasikan kapasitas-kapasitas tersembunyi di dalam diri manusia secara bertahap. Dengan demikian proses koevolusi peradaban teknologi dapat dikatakan sebagai sebuah proses berkesinambungan yang panjang manusia dalam memanusiakan manusia. Melalui proses itu, manusia mendapat peluang untuk mengaktualisasikan semua potensi yang ada dalam dirinya.
HAKIKAT TEKNOLOGI
Dalam mengkaji Filsafat Ilmu, dapat dipastikan akan terhubung dengan teknologi, maknanya ketika seorang-orang melakukan perenungan lebih mendalam, maka akan menemukan bahwa teknologi adalah anak kandung dari filsafat ilmu.
Hakikat Teknologi:
Teknologi bukanlah sekedar produk ilmu pengetahuan beserta temuan-temuannya yang berupa mesin, pesawat, reaktor, ataupun fasilitas fisik lainnya yang serba canggih, melainkan juga termasuk sistem organisasi, struktur sosial beserta kekuasaan yang terlintas padanya.
Menurut Kunto Wibisono:
”Merupakan hasil penerapan secara sistematik ilmu pengetahuan, sebagai suatu himpunan rasionalistik empirik dari berbagai komponen pendukungnya, dengan maksud hendak mengusai atau mengendalikan gejala-gejala yang dihadapinya melalui proses produktif secara ekonomis.”
Karakter Teknologi:
Ada beberapa karakter teknologi :
Pertama: teknologi pada hakikatnya adalah ”tangan” untuk melaksanakan kekuasaan yang dimiliki ilmu, hal ini harus disadari oleh manusia. Teknologi dihasilkan dari penerapan ilmu yang sudah mengalami penelitian dan pengembangan lebih lanjut hingga manfaatnya menjadi jelas bagi kehidupan manusia/.
Kedua: teknologi bersifat dialektik, artinya teknologi dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia, akan tetapi pemecahan masalah tersebut menimbulkan permasalahan yang baru , dan permasalah yang baru ini harus dipecahkan dengan teknologi yang baru pula.
Ketiga, teknologi memerlukan energi yang sangat besar. Pada umumnya, di negara-negara industri maju, konsumsi energi perkapita sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara yang laju konsumsinya rendah. Sehingga tampak adanya korelasi antara pendapatan nasional bruto [GNP] dengan konsumsi energi
FILSAFAT TEKNOLOGI?
Filsafat teknologi adalah salah satu cabang filsafat khusus yang melakukan analisis filsafat tentang teknologi dan berbagai unsur serta seginya.
Menurut salah seorag tokoh pelopor filsafat teknologi Carl Mitcham [1980:305], persoalan-persoalan filsafat tentang teknologi ada dua jenis, sebagai berikut:
Jenis Pertama:
menyangkut soal-soal teoritis tentang sifat dasar teknologi, hubungannya dengan ilmu, struktur tindakan teknologi, intisari mesin, dan perbedaan mesin dengan manusia
Jenis Kedua:
”bersifat praktis, menyangkut persolan-persoalan etis mengenai keterasingan dalam masyarakat industri, senjata nuklir, pencemaran dam parktik keinsinyuran yang profesional
Filsafat teknologi Menurut Mario Bunge
Filsafat teknologi dapat dipandang sebagai gabungan dari lima cabang filsafat yang masih merupakan kuncup bunga yang hampir mekar. Mario Bunge menjelaskan (1979:72):
1. technoepistemology
2. technometaphysic
3. technoaxiology
4. technoethics
5. technopraaxiology
Technoepistemology:
Adalah telaah filsafat tentang pengetahuan teknis. Persoalan yang dibebaskan, antara lain adalah membedakan pengetahuan teknologi dan pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah, atau metode teknologi yang sejajar dengan metode ilmiah serta aturan-aturannya.
Technometaphysic:
Adalah telaah filsafat tentang sifat dasar sistem-sistem buatan dari mesin-mesin sederhana sampai sistem-sistem barnag manusiawiyang rumit. Persoalan yang dibahasnya antara lain adalah prasyarat-prasyarat ontologis dari teknologi atau kekhasan dari semua barang teknologi yang membedakannya dari benda-benda alamiah.
Technoaxiologi:
Adalah telaah filsafat tentang penilaian yang dilakukan oleh para ahli teknologi dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan teknologi mereka. Persoalan yang dibahasnya, antara lain adalah, nilai-nilai yang dipegang oleh para ahli teknologi kognitif, moral, ekonomi, sosial atau politis dan petunjuk-petunjuk.niali nilai teknologi yang paling dapat dipercaya; Perbandingan kemanfaatan atau biaya, kebutuhan pemasaran social lainnya.
Tecnoethics
Adalah cabang etika yang menyelidiki pokok-pokok pertikaian moral yang dihadapi oleh para ahli teknologi dan masyarakat umum dalam hubungannya dengan dampak social dari proyek – proyek teknologi yang berskala besar.
Technopraxiologi
Adalah telaah filsafat tentang tindakan manusia yang dibimbing oleh teknologi. Persoalan yang dibahasnya, antara lain mengenai konsep tindakan rasional yang dapat diwujudkan secara pasti ata bagaimana seorang dapat ,erumuskan dalam istilah istilah umum, derajat efisiensi dari suatu sasaran terhadap suatu tujuan.
Kita bisa lebih memanfaatkan teknologi dengan benar
Filsafat Teknologi merupakan studi baru muncul secara khusus di pertengahan abad ke 20. Kajian atas teknologi berupa filsafat ini dilatarbelakangi dengan semakin berkembang pesatnya teknologi dan terus meningkatnya teknologi baik secara kualitas maupun kuantitas. Ruang lingkupnya dalam kehidupan sehari-hari cukup luas, meliputi wilayah ekonomi, sosial, hukum, moral, dan sebagainya.
Sederhananya, Filsafat Teknologi berusaha membahas dengan kritis mengenai teknologi yang ada sebagai bagian hidup kita. Teknologi dari cakupan luas sampai sempit. Pertanyaan-pertanyaan seperti ‘apa teknologi itu?’, ‘apakah teknologi bisa memperbaiki kualitas hidup manusia?’, sampai yang terkenal ‘bagaimana teknologi bisa menjadi juruselamat bagi hidup manusia?’, dll.
Komputer(PC)
Komputer(PC) yang sekarang kita gunakan dirumah kita merupakan suatu teknologi yang terus dikembangkan dari dulu sampai sekarang. Komputer memiliki sejarah yang cukup panjang. Yang populer di pasaran sekarang ini dikembangkan menjadi bentuk laptop maupun tablet. Hampir setiap orang memiliki komputer pribadi. Setiap perusahaan, kantor, sekolah, dan tempat-tempat umum lainnya menggunakan komputer sebagai perangkat pendukung. Komputer adalah teknologi mutakhir paling komplit bagi kebutuhan kita.
Komputer memiliki dua unsur utama dari sudut pandang manusia. Yaitu daya pasif dan aktifnya. Yang pertama adalah daya pasifnya. Ini adalah unsur yang penting. Komputer perlu dinyalakan dengan di tekan tombol on nya oleh manusia baru bisa menyala dan digunakan. Sebelumnya lagi, komputer harus dibuat terlebih dahulu dengan desain manusia di bagian hardwarenya sampai diproduksi oleh mesin pabrik serta dirancang program penggeraknya. Dalam hal ini man above computer.
Yang kedua adalah unsur aktifnya. Yaitu setelah komputer yang sudah jadi dinyalakan oleh manusia. Ambil contoh saja kita menyalakan komputer untuk melakukan tugas proyek. Saat kita mengetik, menggeser kursor, memblok, melukis, dan sebagainya pada komputer kita adalah kita yang aktif. Komputer yang pasif. Kita menguasai komputer. Apa yang kita pikirkan lalu kita realisasikan lewat tangan kita kepada perangkat komputer membuat komputer melakukan apa saja yang kita mau. Ini semua masih kita yang aktif. Lalu dimana letak keaktifan dari komputer?
Komputer mempraktikan unsur aktifnya kepada kita lewat kemampuan otomatisnya. Kemampuan otomatis adalah kemampuan kerja komputer untuk melakukan pekerjaan tanpa perlu kontrol penuh manusia. Contohnya adalah saat memutarkan video, musik, rekaman, menjalankan proses, melakukan perhitungan otomatis, menampilkan grafik khusus, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Unsur aktif ini tentu banyak merengut daya aktif dari manusia. Jadi saat seharusnya manusia berpikir dan menggerakan tangan dalam melakukan proses (mungkin menghitung, mengukur, menganalisa data, berspekulasi) di komputer tetapi tergantikan dengan kemampuan program komputer. Dan kita hanya menunggu proses sampai selesai atau bahkan tidak menunggu sama sekali karena pekerjaan komputer yang sangat cepat.
Jadi ada dua kutub dalam relasi manusia dengan komputer. Yaitu antara keaktifan manusia dan kepasifan komputer atau kepasifan manusia dan keaktifan komputer. Itu saja. Salah satu ada yang lebih aktif, salah satu ada yang lebih pasif.
Namun bukan berarti saat manusia aktif komputer sepenuhnya pasif atau sebaliknya. Ini masalah proses dalam komputer dan waktu yang manusia gunakan. Proses yang lazim ini saya gambarkan seperti ini: -Saya ingin mengerjakan tugas Sejarah Pemerintahan Soeharto sebanyak satu halaman. Saya menyalakan komputer saya. Mencari bahan di Google. Mengopi sebagian bahan ke Ms. Word. Mendownload video di Youtube mengenai Rezim Orba selama semenit. Kembali mengetik. Menonton video tersebut. Melanjutkan mengetik sampai selesai. Lalu mengprint dokumen tersebut.-
Pada gambaran yang saya berikan tersebut cukup membantu dalam menjelaskan bagaimana relasi antara kita sebagai pengguna dengan komputer sebagai teknologi yang dimanfaatkan. Dimana dengan keputusan saya untuk menyalakan komputer dalam memudahkan mengerjakan tugas. Mengetik tugas tersebut. Memilih referensinya. Mendownload video. Meringkas data. Menganalisa, berpikir, lalu mengetik kembali. Ini semua menunjukkan bahwa saya yang melakukan pilihan dan komputer yang saya manfaatkan. Komputer saya perintahkan lalu menurut dan menjalankan. Kebutuhan saya terpenuhi.Tugas yang saya buat cepat selesai dan lebih bagus berkat bantuan komputer. Man above computer!
Namun ada hal lain yang perlu kita perhatikan. Anggap saja saya mewakili kita semua. Saat kita menggunakan komputer untuk meringankan tugas kita atau memenuhi kebutuhan kita, ada juga saat dimana kita dikendalikan komputer. Contoh sederhananya adalah kita harus menunggu lamanya komputer itu berproses. Kita dikibuli agar sabar menunggu dengan tanda kipas angin atau loading. Lalu proses yang ingin kerjakan harus berdasar tahap-tahap yang sudah diprogram.
Data-data yang diberikan merupakan pilihan komputer sendiri yang belum tentu kita mau semua. Intinya setiap yang kita lakukan pada komputer kita seperti cara mengetik kita, cara mengerjakan tugas kita, cara mengedit gambar misalnya, mengolah data, mengunduh video, dan sebagainya adalah program komputer itu sendiri. Pilihan komputer itu sendiri dengan metodenya. Kewenangan komputer yang tidak bisa seenaknya kita utak-atik. Waktu kita dipermainkan komputer. Program itu mengendalikan kita. Membatasi kita. Memengaruhi tindakan kita dalam bekerja.
Saat kita menggunakan komputer yang kita beli sepenuhnya kita mengikuti aturan komputer itu sendiri. Waktu yang digunakan dan bagaimana kita menggunakan komputer itu sendiri tidak sepenuhnya merupakan otonomi kita, tetapi juga komputer itu. Kita ingin menyelsaikan sesuatu dengan komputer melalui langkah a-b-c, tetapi komputer berkata lain. Komputer berprogram dengan langkah a-b-d-c. Kita tidak bisa melawan, harus menurut dengan program yang sudah ada dalam komputer tersebut. Daya aktif kita terserap oleh komputer dan komputer semakin aktif saat kita semakin lama menggunakannya. Computer above man. Man above Computer? Computer realy above men?
Komentar
Posting Komentar